Menuju Desa Mandiri dan Sejahtera: Dari Mana Dimulai

31 Desember 2023
Indri Yustika
Dibaca 10 Kali
Menuju Desa Mandiri dan Sejahtera: Dari Mana Dimulai

Artikel ditulis oleh :
Heru Cahyono (Widyaiswara Ahli Madya BDK Makassar)

Pendahuluan

UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa telah memberikan legal standing dan landasan strategis untuk pembanguan dan pemberdayaan masyarakat desa, menuju desa yang mandiri dan sejahtera. UU Desa memberikan pengakuan dan penyerahan kekuasaan berskala desa.

Dengan pengakuan dan penyerahan kekuasaan tersebut, desa memiliki kewenangan di bidang penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat desa.

Dalam rangka menopang pelaksanaan kewenangan tersebut, UU No 6 Tahun 2014 mengamanatkan kepada pemerintah pusat untuk mentransfer dana ke desa yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Dalam penjelasan UU No 6 Tahun 2014 disebutkan bahwa besaran alokasi anggaran yang peruntukannya langsung ke Desa ditentukan 10% (sepuluh perseratus) dari dan di luar dana Transfer Daerah (on top) secara bertahap.

Sejak tahun 2015 pemerintah telah mengelokasikan dana desa. Besarnya dana desa dari tahun ke tahun secara statistik makin meningkat. Penyaluran dana desa kurun waktu 2015 sampai dengan 2020 mengalami peningkatan secara terus menerus.

Peningkatan alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang disalurkan ke desa tersebut dimaksudkan untuk mendukung pembangunan desa yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.

Hal tersebut dalam rangka melaksankan secara konsisten UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa. Harapannya dengan peningkatan penyaluran dana desa akan mempercepat penurunan angka kemiskinan di pedesaan sehingga dengan demikian juga akan mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat desa.

Undang-undang desa telah memberi jaminan yang lebih pasti bahwa setiap desa menerima dana dari pemerintah melalui anggaran negara dan daerah yang jumlahnya berlipat, jauh diatas jumlah yang selama ini tersedia dalam anggaran desa.

Undang-Undang desa juga memberikan dasar menuju pemberdayaan komunitas yaitu bahwa desa tidak lagi menjadi bawahan daerah, tetapi menjadi komunitas yang mandiri. Sehingga setiap warga dan masyarakat desa berhak berbicara atas kepentingan sendiri dan mengatur wilayah desanya sendiri.

Kebijakan-kebijakan yang dulu sering bersifat top-down, diharapkan dapat bergeser ke arah pendekatan bottom-up melalui pelibatan dan partisipasi masyarakat desa dalam perencanan, pengelolaan dan pengawasan pembangunan.

Namun demikian, alokasi dana desa yag terus meningkat selama 6 tahun terakhir belum dapat menurunkan kemiskinan secara signifikan di pedesaan. Menteri Keuangan Sri Mulyani, beberapa waktu lalu mengungkapkan hal tersebut dalam dialog interaktif Diseminasi Dana Desa di Kabupaten Magelang (Kemenkeu, 2017).

Ungkapan tersebut bukan tanpa alasan. Jika kita melihat data statistik jumlah penduduk miskin di desa memang mengalami penurunan dari waktu ke waktu. Namun tren penurunan kemiskinan juga terjadi sebelum pemerintah mengalokasikan dana desa di dalam APBN. Semua pihak perlu risau, dengan kondisi yang telah diungkapkan oleh Menteri Keuangan di atas. Pertanyaan penting yang harus segera mendapatkan jawaban adalah, mengapa dana desa yang sudah dikucurkan selama ini masih belum maksimal memenuhi harapan undang-undang.

Kemudian bagaimana strategi pemberdayaan masyarakat diimplementasikan agar efektif dalam memperbaiki kesejahteraan masyarakat desa. Tulisan ini bertujuan memberikan analisis kritis seperti apakah kondisi kesejahteraan masyarakat di pedesaan. Sekaligus juga mencoba mengidentifikasi dari mana memulai langkah atau strategi, dalam upaya membangun kemandirian menuju kesejahteraan masyarakat desa seperti yang dicita-citakan.

Trend Penyaluran Dana Desa

Data statistik meunjukkan bahwa trend penyaluran dana desa selama 6 tahun, dari 2015 sampai dengan 2020, mengalami peningkatan yang sangat pesat. Tahun 2015, pertama kali dialokasikan di dalam APBN, dana desa masih sekitar Rp 20,76 triliun. T

ahun 2016 dana desa yang dialokasikan besarnya sekitar Rp. 45,61 triliun. Menjadi lebih dari dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Trend kenaikan terus terjadi di tahun-tahun berikutnya. Pada 2020 dana desa menjadi hampir tiga setengah kali lipat sejak pertama kali dialokasikan, di tahun 2015. Besarnya menjadi sekitar Rp. 69,11 triliun. Trend kenaikan yang sangat signifikan ini merupakan bentuk komitmen pemerintah pusat dalam mengimplementasikan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Tujuan disalurkannya dana desa adalah sebagai bentuk komitmen negara dalam melindungi dan memberdayakan desa agar menjadi kuat, maju, mandiri dan demokratis. Dengan adanya dana desa, desa dapat menciptakan pembangunan dan pemberdayaan desa menuju masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.

Dana desa diprioritaskan untuk pembiayaan pelaksanaan program dan kegiatan berskala lokal desa dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup masyarakat serta penanggulangan kemiskinan. Prioritas dana desa dialokasikan untuk membiayai bidang pemberdayaan masyarakat didasarkan atas kondisi dan potensi desa, sejalan dengan pencapaian target RPJMDes dan RKPDes setiap tahunnya, melalui:

1.      Pemenuhan kebutuhan dasar, meliputi:

Pengembangan pos kesehatan Desa dan Polindes;
Pengelolaan dan pembinaan Posyandu; dan
Pembinaan dan pengelolaan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).

2.      Pembangunan sarana dan prasarana desa, yang diantaranya dapat meliputi:

Pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana jalan desa;
Pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana jalan usaha tani;
Pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana embung desa;
Pembangunan energi baru dan terbarukan;
Pembangunan dan pemeliharaan sanitasi lingkungan;
Pembangunan dan pengelolaan air bersih berskala desa;
 Pembangunan dan pemeliharaan irigasi tersier;

3.      pengembangan potensi ekonomi lokal guna meningkatkan kapasitas masyarakat desa dalam pengembangan wirausaha, peningkatan pendapatan, serta perluasan skala ekonomi masyarakat desa, melalui pembentukan badan usaha milik desa (BUMDes)

Presiden Joko Widodo pada bulan Februari 2019 menyampaikan bahwa dalam kurun waktu 4 tahun (2015 sampai dengan 2018) dana desa yag terserap sekitar Rp 187 triliun. Dengan anggaran tersebut secara kuantitatif telah menghasilkan pembangunan infrastruktur jalan desa sepanjang 191.000 km, jembatan 1,1 juta meter, irigasi 58.000 unit, pasar desa 8.900 dan posyandu 24.000 unit (Setkab, 2018). Hal tersebut merupakan pembangunan infrastuktur desa paling spektakuler sepanjang sejarah Indonesia. Namun demikian, masifnya pembangunan infrastruktur fisik tersebut belum diikuti dengan peningkatan kualitas kesejahteraan ekonomi masyarakat di pedesaan. Angka kemiskinan di pedesaan belum mengalami penurunan secara drastis.

Kemiskinan Pedesaan

Ada beberapa parameter untuk mengukur kemiskinan di pedesaan, antara lain jumlah penduduk miskin, koefisien gini di pedesaan, angka kedalaman dan keparahan kemiskinan, serta nilai tukar petani (Setjen DPR, 2021). Untuk memahami parameter-parameter kemiskinan ini, ada baiknya perlu dipahami definisi kemiskinan dan garis kemiskinan terlebih dahulu.

1. Penduduk Miskin

Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Konsep ini mengacu pada Handbook on Poverty and Inequality yang diterbitkan oleh Worldbank. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Penduduk dikategorikan sebagai penduduk miskin jika memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.

2. Garis Kemiskinan (GK)

Garis Kemiskinan (GK) mencerminkan nilai rupiah pengeluaran minimum yang diperlukan seseorang untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya selama sebulan, baik kebutuhan makanan maupun non-makanan. GK terdiri dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM).

Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran minimum untuk kebutuhan makanan yang disetarakan dengan 2100 kilokalori per kapita per hari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dan lain-lain).

Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM) merupakan nilai pengeluaran minimum untuk kebutuhan non-makanan berupa perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non-makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan.

Rumus Penghitungan :
GK = GKM + GKNM
GK     = Garis Kemiskinan
GKM  = Garis Kemiskinan Makanan
GKNM = Garis Kemiskinan Non Makan .Sumber: Bada Pusat Statistik

Walaupun jumlah penduduk miskin di desa mengalami penurunan, namun hal tersebut tidak bisa secara langsung dikorelasikan dengan adanya dana desa. Karena sebelum dana desa disalurkan, trend penurunan jumlah penduduk miskin di desa juga sudah terjadi. Sejalan dengan argumen ini, trend penurunan jumlah penduduk miskin juga terjadi di perkotaan, padahal kota tidak mendapatkan dana semacam dana desa. Grafik II menjelaskan hal terseut.

3. Persentase Penduduk Miskin

Head Count Index (HCI-P0) secara sederhana mengukur proporsi penduduk yang dikategorikan miskin. Yaitu, persentase penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan (GK). Dari grafik III, bisa dilihat bahwa prosentase penduduk miskin di desa lebih besar daripada prosentase penduduk miskin di kota. Pada semester II tahun 2017 prosentase penduduk miskin di kota sebesar 7,26%. Pada periode yang sama, prosentase penduduk miskin di desa sebesar 13,7%, hampir dua kali lipat dari prosentase penduduk miskin di kota. Secara trend, gap antara prosentase penduduk miskin di pedesaan dengan perkotaan cenderung konstan, dari waktu ke waktu selama kurun waktu 2012 sampai dengan 2021. Seolah-olah menggambarkan, betapa dana desa yang selama ini digelontorkan belum secara sigifikan menurunkan angka kemiskinan.

4. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1)

Indeks kedalaman kemiskinan (Poverty Gap Index-P1) merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks,Sumber: Badan Pusat Statistik

menunjukkan semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan. Grafik IV menunjukkan trend indeks kedalaman kemiskinan dari semester I tahun 2012 sampai dengan semester I tahun 2021. Jarak rata-rata pengeluaran penduduk miskin di desa dari garis kemiskinan justru makin jauh di tahun 2016 semester I sebesar2,5, kemudian mengalami penurunan mejadi 2,32 semester II tahun yang sama. Tetapi naik kembali di tahun 2017. Baru mengalami penurunan di bawah ndeks kedalaman kemiskinan. Sumber: Badan Pusat Statistik

pada semester II tahun 2019 menjadi 2,11. Kemudian indeks ini naik kembali ketika pandemi covid melanda di awal 2020. Jika dibandingkan dengan rata-rata penduduk miskin di kota kedalaman kemiskinan di desa nampak lebih parah. Sepanjang kurun waktu 10 tahun terakhir indeks kedalaman kemiskinan di perkotaan tidak pernah mencapai level 1,5. Sementara pada kurun waktu yang sama indeks kedalaman kemiskinan di pedesaan selalu di atas 2. Hal itu menggambarkan kemiskinan penduduk desa cenderung lebih parah. Angka-angka ini menggambarkan bahwa dana desa belum dapat memperbaiki kesejahteraan penduduk miskin di desa secara signifikan.

5. Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)

Indeks keparahan kemiskinan (Proverty Severity Index-P2) memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, menunjukkan semakin tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin. Sumber: Badan Pusat Statistik

Grafik 5 menggambarkan trend indeks keparahan kemiskinan baik di pedesaan maupun perkotaan, selama kurun waktu 10 tahun terakhir. Indeks keparahan kemiskinan di pedesaan lebih besar dari pada indeks di perkotaan.

6. Gini Ratio
Gini ratio adalah salah satu ukuran kesenjangan pendapatan antar penduduk. Dalam mengukur tingkat ketimpangan di Indonesia, BPS menggunakan data pengeluaran sebagai proksi pendapatan yang bersumber dari Susenas. Nilai gini ratio berkisar antara 0 (nol) dan 1 (satu). Nilai gini ratio yang semakin mendekati 1 mengindikasikan tingkat ketimpangan yang semakin tinggi. Sumber: Badan Pusat Statistik
Grafik VI menggambarkan tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk pedesaan yang lebih baik dari pada perkotaan. Namun, jika dikombinasikan dengan indeks P1 dan P2, gini ratio yang lebih rendah tersebut dapat diartikan bahwa di perdesaa tingkat kemiskinannya cenderung lebih merata dari pada di perkotaan.

7. Nilai Tukar Petani (NTP)

NTP merupakan salah satu indikator yang berguna untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani karena mengukur kemampuan produk (komoditas) yang dihasilkan/dijual petani dibandingkan dengan produk yang dibutuhkan petani baik untuk proses produksi (usaha) maupun untuk konsumsi rumah tangga petani.

Sejak Januari 2008, indeks harga yang diterima (IT) dan indeks harga yang dibayar petani (IB) serta NTP menggunakan tahun dasar 2007 dengan cakupan sebanyak 32 provinsi serta penyajian data untuk masing-masing sub sektor, sebelumnya indeks harga yang diterima petani dan indeks harga yang dibayar petani serta NTP menggunakan tahun dasar 1993 dengan cakupan provinsi sebanyak 23 provinsi. Sumber: Badan PusatStatistik


NTP kurang dari 100 menunjukkan bahwa petani mengalami defisit. Dengan kata lain tingkat kesejahteraan petani pada suatu periode mengalami penurunan dibanding tingkat kesejahteraan petani pada periode sebelumnya. Harga yang harus dibayar untuk membeli barang di luar sektor pertanian lebih besar dari pada pendapatan yag diterima dari sektor pertanian.

NTP sama dengan 100 menunjukkan bahwa petani mengalami break event. Kesejahteraan petani tidak mengalami perubahan, karena antara harga yang dibayar sama dengan harga yang diterima dari sektor pertanian. NTP di atas 100 menunjukkan bahwa petani mengalami surplus. Tingkat kesejahteraan petani pada suatu periode mengalami kenaikan dibanding tingkat kesejahteraan petani pada periode sebelumnya. Petani menerima harga lebih dibanding harga yang dibayar untuk membeli barang diluar sektor pertaian.

Grafik VII. Menunjukkan trend NTP selama 2014 sampai dengan 2019. Dari grafik tersebut bisa dilihat, bahwa pada kurun waktu 2014 sampai dengan 2017, NTP trendnya menurun. Hal ini dapat dimaknai, bahwa pada kurun waktu tersebut kesejahteraan petani cenderung mengalami penurunan. Namun pada tahun 2017 tersebut sekaligus menjadi titik balik perbaikan NTP. Bahkan pada tahun 2018 NTP sudah melampaui level NTP 4 tahun sebelumnya.

Membangun Desa versus Desa Membangun

Kata pembangunan sangat populer di era Orde Baru. Sejak pemerintahan Orde Baru pembangunan di segala bidang gencar dilakukan. Sampai-sampai Presiden Soeharto mendapat gelar Bapak Pembangunan. Pembangunan sering dihubungkan dengan upaya dalam melakukan perubahan sosial, pertumbuhan ekonomi, modernisasi dan rekayasa sosial. Dari sudut pandang kewilayahan, pembangunan juga bisa di artikan sebagai proses peningkatan kualitas hidup baik di kota maupun di desa.

Istilah "membagun desa" demikian populer di masa lalu. Meletakkan kata desa setelah kata membangun pada istilah tersebut, menyiratkan makna bahwa desa sebagai obyek pembangunan, bukan subyek. Ini sekaligus menggambarkan paradigma pembangunan, meletakkan desa sebagai obyek.

Paradigma itu bersifat state centric: otokratis, top down, sentralistik, hirarkis, dan sektoral. Pembangunan desa banyak ditentukan oleh struktur pemerintahan di atasnya. Desa, sebagai pemilik sumberdaya produktif dan kedaulatan tidak memiliki peran yang berarti. Akibatnya, pembangunan desa seringkali tidak sesuai kebutuhan dan sebagian besar meleset jauh dari target yang ingin dicapai.

Pembangunan Desa mengalami transformasi dan semakin nyata dengan diterbitkannya UU 6/2014 tentang Desa. Undang-undang ini memberikan pengakuan dan delegasi kewenangan kepada masyarakat desa untuk mengelola dan menyelenggarakan urusannya secara otonom.

Otonomi desa dalam Undang Undang No. 6 tahun 2014 meliputi aspek self governing community sesuai hak asal usul dan aspek local self government. Artinya undang-undang ini memberikan pengakuan dan penyerahan kekuasaan berskala desa, yang memberikan kewenangan luas kepada desa di bidang penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat desa. 


Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 telah menempatkan desa sebagai subyek pelaku pembangunan. Undang-Undang ini juga yang menjadi spirit paradigma ?desa membangun?, dimana desa diposisikan sebagai subyek pembangunan. Pemerintah desa menjadi pihak yang menfasilitasi tumbuh kembangnya kemandirian dan kesejahteraan desa melalui skema kebijakan yang mengutamakan rekognisi dan subsidiaritas.

Undang-Undang desa memberikan dasar menuju pemberdayaan komunitas yaitu bahwa desa tidak lagi menjadi bawahan daerah, tetapi menjadi komunitas yang mandiri. Sehingga setiap warga desa dan masyarakat desa berhak berbicara atas kepentingan sendiri dan mengatur wilayah desanya sendiri. Kebijakan-kebijakan yang dulu sering bersifat top-down, diharapkan dapat bergeser ke arah pendekatan bottom-up melalui pelibatan dan partisipasi masyarakat desa dalam perencanan, pengelolaan dan pengawasan pembangunan.

Untuk mengukur seberapa mandiri desa melakukan pembangunannya, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi mengembangkan tools yang disebut Indeks Desa Membangun (IDM). IDM merupakan indeks komposit yang dibentuk berdasarkan tiga indeks, yaitu Indeks Ketahanan Sosial, Indeks Ketahanan Ekonomi dan Indeks Ketahanan Ekologi/Lingkungan (Kemendesa, 2019).

Dimensi Ketahanan ekonomi yang membentuk IDM meliputi produksi desa, akses distribusi, akses perdagangan, akses lembaga keuangan, lembaga ekonomi dan keterbukaan terhadap perdagangan. Dimensi ketahanan ekonomi sangat berhubungan dengan perputaran uang dan pemerataan pendapatan di desa. Keseluruhan aspek dari dimensi ketahanan ekonomi mencerminkan peningkatan pembangunan desa.

Dimensi ketahanan sosial dalam membentuk Indeks desa Membangun yaitu kesehatan, pendidikan, modal sosial, dan pemukiman. Pelayanan kesehatan dapat diukur dari waktu tempuh ke prasarana kesehatan kurang dari 30 menit.

Sebagai contoh, akses sarana dan prasarana kesehatan yang tidak terlalu jauh menjadikan poin penting dalam pembangunan desa. Sehingga sangat penting untuk memanfaatkan dana desa dalam rangka pembangunan sarana dan prasarana kesehatan didesa. Tersedia tenaga kesehatan bidan, dokter dan kesehatan lain di pusat kesehatan masyarakat.

Tidak hanya sarana dan prasarana yang tersedia, tetapi tenaga kesehatan yang akan melayani masyarakat juga harus tersedia. Dimensi sosial yang dibangun dari aspek pendidikan meliputi akses ke pendidikan dasar dan menengah yang jarangnya kurang dari 3 kilometer sampai 6 kilometer. Akses ke pendidikan non formal, yang terdiri dari kegiatan pemberantasan buta aksara, pendidikan anak usia dini; pusat kegiatan belajar masyarakat/paket ABC; dan akses ke pusat keterampilan/ kursus.

Akses ke pengetahuan, yang terdiri dari indikator taman bacaan masyarakat atau perpustakaan desa. Kelengkapan terhadap akses pendidikan tersebut mendukung pembangunan manusia di desa. Dimensi modal sosial lebih kearah pembangunan solidaritas sosial dimana pembangunan kebiasaan gotong royong di desa, keberadaan ruang publik terbuka bagi warga yang tidak berbayar, ketersediaan fasilitas atau lapangan olahraga, dan terdapat kelompok kegiatan olahraga.

Selanjutnya memiliki toleransi yang tinggi terhadap perbedaan yang terjadi di desa. Warga desa berkomunikasi sehari-hari menggunakan bahasa yang berbeda, dan keragaman agama di desa. Menciptakan rasa aman penduduk terhadap keberadaan desa meliputi membangun pemeliharaan poskamling lingkungan, Siskamling, tingkat kriminalitas yang terjadi di desa, tingkat konflik yang terjadi di desa; dan upaya penyelesaian konflik yang terjadi di desa.

Dimensi ketahanan lingkungan meliputi kualitas lingkungan hidup dan potensi rawan bencana. Kualitas lingkungan hidup berkaitan dengan keberlangsungan hidup manusia. Lingkungan hidup yang bersih dan berkualitas meliputi ada atau tidak adanya pencemaran air, tanah dan udara. Selanjutnya sumber air yang berada didesa yaitu sungai.

Potensi rawan bencana dan tanggap bencana, yang terdiri dari indikator Kejadian bencana alam (banjir, tanah longsor, kebakaran hutan); dan Upaya atau tindakan terhadap potensi bencana alam (tanggap bencana, jalur evakuasi, peringatan dini dan ketersediaan peralatan penanganan bencana).

Berdasarkan IDM, Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi mengklasifikasikan desa menjadi; desa sangat tertinggal, desa tertinggal, desa berkembang, desa maju dan desa mandiri.

Desa sangat tertinggal atau pratama adalah desa yang mengalami kerentanan karena masalah bencana alam, goncangan ekonomi, dan konflik sosial sehingga tidak berkemampuan mengelola potensi sumberdaya sosial, ekonomi, dan ekologi serta mengalami kemiskinan dalam berbagai bentuknya.

Desa tertinggal adalah desa yang memiliki potensi sumber daya sosial, ekonomi, dan ekologi tetapi belum, atau kurang mengelolanya dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat desa, kualitas hidup manusia serta mengalami kemiskinan dalam berbagai bentuknya.

Desa berkembang adalah desa potensial menjadi desa maju, yang memiliki potensi sumber daya sosial, ekonomi, dan ekologi tetapi belum mengelolanya secara optimal untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat desa, kualitas hidup manusia dan menanggulangi kemiskinan.

Desa maju adalah desa yang memiliki potensi sumber daya sosial, ekonomi dan ekologi, serta kemampuan mengelolanya untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat desa, kualitas hidup manusia, dan menanggulangi kemiskinan.

Desa mandiri adalah desa maju yang memiliki kemampuan melaksanakan pembangunan desa untuk peningkatan kualitas hidup dan kehidupan sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa dengan ketahanan sosial, ketahanan ekonomi, dan ketahanan ekologi secara berkelanjutan.

Pemberdayaan Masyarakat Desa, Bagaimana Dimulai

Pemberdayaan masyarakat secara lugas diartikan sebagai suatu proses membangun manusia melalui pengembangan kemampuan masyarakat, perubahan perilaku masyarakat, dan pengorganisasian masyarakat. Beberapa permasalahan pokok yang sering ditemukan dalam pemberdayaan masyarakat di desa antara lain:

Rendahnya kualitas SDM yang di akibatkan rendahnya pendidikan;
Terbatasnya alternative pekerjaan yang berkualitas dimana masyarakat berorientasi pada sektor ekonomi primer yaitu pertanian;

Lemahnya keterkaitan ekonomi sektoral dan spasial maksudnya bersifat tunggal dan tidak ada organisasi mengakibatkan minimnya nilai tambah;
Minimnya sarana publik di desa baik kesehatan, pendidikan dan akses fisibilitas maupun prasarana pendukung lainnya;

Rendahnya kepemilikan aset lahan yang mengakibatkan kurangnya minat inverstor/pemberi modal; Kerentanan bencana tinggi merupakan salah satu permasalahan besar;

Dalam organisasi desa, partisipasi masyarakat dalam kelembagaan dan organisasi masyarakat masih rendah; dan Lemahnya koordinasi lintas bidang dan pengembangan kawasan pedesaan.

Pemberdayaan masyarakat desa merupakan suatu upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan menigkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran serta memanfaatkan sumberdaya melalui kebijakan program, kegiatan, dan pendampingan dan prioritas kebutuhan masyarakat desa (Kemendesa, 2019).

Dari pengertian di atas tujuan utama pemberdayaan masyarakat meliputi pengembangan kompetensi masyarakat, mengubah perilaku masyarakat dan mengorganisir diri masyarakat. Pertama, kemampuan masyarakat yang perlu dikembangkan, diantaranya kemampuan untuk berusaha, kemampuan mencari informasi, mengelola kegiatan, kemampuan dalam pertanian dan banyak hal lainnya.

Kedua, Perilaku masyarakat yang dapat diubah adalah perilaku yang merugikan masyarakat tentunya, atau sesuatu yang menghambat dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Ketiga, pengorganisasian masyarakat dapat dijelaskan sebagai suatu upaya masyarakat untuk saling mengatur dalam mengelola kegiatan atau program yang telah dikembangkan.

Program atau kegiatan tersebut yaitu masyarakat dapat membentuk panitia kerja, pembagian tugas, melakukan pengawasan dan membuat rencana kegiatan. Langkah-langkah yang bisa dilakukan dalam upaya pemberdayaan meliputi proses penyadaran, kemudian pelatihan dan pengorganisasian.

Penyadaran memiliki makna yang berarti bahwa masyarakat secara keseluruhan sadar bahwa mereka mempunyai tujuan dan permasalah. Namun, masyarakat juga sadar akan menemukan peluang dan memanfaatkannya, menemukan sumberdaya yang telah ada di tempat mereka tinggal.

Pelatihan formal maupun nonformal. Melalui pendidikan, kesadaran masyarakat akan terus berkembang untuk semua kalangan baik itu kalangan orangtua, wanita maupun kaum miskin. Agar menjadi kuat, masyarakat tidak cukup dengan suatu keterampilan saja namun juga harus diorganisir.

Organisasi berarti segala sesuatu yang dikerjakan dengan cara yang teratur, ada pembagian tugas antara individu yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan tugas dan ada kepemimpinan yang tidak hanya terdiri dari segelintir orang namun berbagai tingkatan.

Paradigma desa membangun lebih menekankan pada pelibatan semua penduduk desa dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan desa. Dengan paradigma ini, pembangunan desa yang direncanakan secara sistematis hanya dapat berhasil jika melibatkan semua segmen dan kelompok yang berada di desa secara langsung dan memberikan perhatian, saran, dan kontribusi mereka.

Upaya yang diprakarsai oleh anggota masyarakat desa, tokoh masyarakat dan pejabat hanya bisa berhasil dan berkelanjutan jika dilakukan dengan keterlibatan penuh dan luas anggota masyarakat di semua tahap proses. Partisipasi masyarakat terbagi atas beberapa pendekatan yaitu partisipasi individu, sosial dan publik.

Minimal ada 3 (tiga) komponen penting yang harus diperhatikan dalam perencanaan pembangunan desa berbasis partisipatif. Ketiga komponen tersebut meliputi:

Database desa, ketersediaan informasi terperinci dan terbaru tentang semua aspek desa sangat penting.

Partisipasi masyarakat. kebersamaan orang-orang desa yang tertarik serta terlibat dalam proses perencanaan dan pengembangan kegiatan.

Manajemen, kesiapan rencana yang sistematis untuk berbagai jenis kegiatan pembangunan, melaksanakannya dan mengelola sistem dan proyek yang dikembangkan.

Selain beberapa pendekatan yang telah disebutkan di atas, perlu dan pentingnya dukungan dan kerjasama lintas sector dalam membangun desa. Pengembangan desa menuju desa mandiri memerlukan kerjasama yang melibatkan beragam sektoral dan stakeholder pada suatu wilayah. Kerjasama ini tidak saja kerjasama dalam bentuk horisontal (antar elemen masyarakat desa), tetapi juga kerjasama vertikal termasuk di dalamnya kerjasama antar instansi pemerintah di daerah.

Kesimpulan

Dari paparan diatas dapat disimpulkan beberapa hal:

Dana desa yang cukup besar yang sudah disalurkan pemerintah ternyata tidak cukup efektif memperbaiki kesejahteraan masyarakat desa.

Pembangunan desa yang tidak menempatkan masyarakat desa sebagai subyek, tidak mampu mempercepat pengurangan angka kemiskinan pedesaan, sehingga kemandirian desa lambat dicapai.

Kemandirian desa diukur dari tiga aspek yaitu, ketahanan ekonomi, ketahanan sosial dan ketahanan ekologi/lingkungan.

Langkah-langkah pemberdayaan masyarakat desa bisa dimulai dengan penyadaran, pelatihan, pengorganisasian, pembangunan kekuatan dan membangun dinamika.
Pembangunan desa berbasis partisipasi masyarakat memerlukan tiga komponen, databese tentang desa yang terperinci serta up to date, partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pengembangan kegiatan, serta manajemen yang sistematis untuk berbagai kegiatan di desa.

Sinergi dan kolaborasi baik secara horisontal maupun vertikal, antar sektor dan antar instansi pemerintah di daerah, diperlukan untuk membantu proses pendampingan dan pemberdayaan masyarakat desa.